Ini mungkin suatu pertanyaan yang membingungkan untuk dijawab,,,,mungkinkah selama ini qta belajar fisika secara tidak islam.... ataukah qta telah belajar ilmu fisika dengan ilmu yang tak jelas arah dan tujuannya.
hmmmmmmmmmmm,,,,,,,,,
Agar tidak timbul banyak tanda tanya di hati dan pikiran qta , dha baexnya qta baca sejenak selengkapnya tentang pelajari ilmu fisika secara islami. LET"S GO !!!
Mempelajari Ilmu Fisika secara Islami dimulai dari Islami atau tidaknya fikiran seorang fisikawan. Bagaimana cara pandang seorang fisikawan terhadap alam, bagaimana konsep ia tentang ilmu, dan bagaimana konsepnya tentang Tuhan. Cara pandang inilah yang menentukan apakah ia mempelajari sains secara islami atau tidak, dan cara pandang inilah yang dikenal sebagai pandangan-alam (worldview). Fikiran seorang fisikawan akan memahami benar bahwa ada keterkaitan yang erat antara ilmu (‘ilm), alam (‘alam), dan Pencipta (al-Khaliq).
Kata ‘ilm sendiri berasal dari kata dasar yang terdiri, ‘a-l-m, atau ‘alam. Makna yang dikandungnya adalah ‘alaamah, yang berarti “petunjuk arah”. Menurut al-Raghib al-Isfahani al-‘alam adalah “al-atsar alladzi yu’lam bihi syai’” (jejak yang dengannya diketahui sesuatu). Dalam karyanya Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Rosenthal memberikan pandangan tentang adanya keterkaitan erat secara bahasa antara ilmu pengetahuan dengan petunjuk jalan yaitu bahwa, the meaning of “to know” is an extension, peculiar to Arabic, of an original concrete term, namely, “way sign.”…the connection between “way sign” and “knowledge” is particularly close and takes on especial significance in the Arabian environment.
Mengenai keterkaitan antara adanya Pencipta dengan alam, sangat menarik jika kita simak pandangan Dr. Mohd. Zaidi Ismail, pakar Islamic Science, bahwa prototipe dari Natural Science khususnya dalam arti modernnya, dalam tradisi keilmuan dan sains Islam disebut sebagai ‘ilm al-tabii’ah (the science of nature). Kata al-tabii’ah tidak seperti kata bahasa Inggris “nature (alam)” yang menyiratkan keabadian dunia, diambil dari akar kata t-b-’a atau tab’a, yang berarti “dampak atas sesuatu (ta’thir fii…), “penutup (seal), atau “jejak (stamp)” (khatm), maka ia menyiratkan “sifat atau kecenderungan yang dengannya makhluk diciptakan” (al-sajiyyah allatii jubila ‘alayha). Semua arti tersebut “mengasumsikan” adanya Sang Pencipta.
Jadi alam tidak dipelajari semata-mata karena alam itu sendiri, namun alam diteliti karena ia menunjukkan pada sesuatu yang dituju yaitu mengenal Pencipta alam tersebut. Sebab alam adalah “ayat” (tanda). Fisikawan yang mempelajari alam lalu berhenti pada fakta-fakta dan data-data ilmiah, tak ubahnya seperti pengendara yang memperhatikan petunjuk jalan, lalu ia hanya memperhatikan detail-detail tulisan dan warna rambu-rambu itu. Ia lupa bahwa rambu-rambu itu sedang menunjukkannya pada sesuatu.
Hal ini sejalan dengan makna ilmu dalam Islam seperti ditunjukkan oleh Jurjani dalam at-Ta’rifaat bahwa ilmu adalah “hushuul shurat asy-Syai’ fi al-‘Aql” (sampainya makna sesuatu pada akal) namun juga “wushul an-nafs ilaa ma’na asy-syai’” (tibanya jiwa pada makna sesuatu). Sejalan dengan hal ini, pakar Filsafat Sains, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan:
“Pada hakikatnya sesuatu itu, seperti juga kata, adalah sebuah petunjuk (tanda) atau simbol, dan petunjuk atau simbol adalah sesuatu yang dzhair dan tak terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tak dzahir. Sehingga tatkala yang pertama itu sudah dapat ditangkap, dan yang bersifat dengan sifat yang sama dengan yang pertama itu tadi dapat diketahui. Oleh sebab itu kami telah mendefisnisikan ilmu secara epistemologis sebagai sampainya arti sesuatu itu ke dalam jiwa, atau sampainya jiwa pada arti sesuatu itu. “Arti sesuatu itu” berarti artinya benar, dan apa yang kami anggap sebagai arti yang ”benar” itu, pada pandangan kami ditentukan oleh pandangan Islam (Islamic vision) tentang hakikat dan kebenaran sebagaimana yang diproyeksikan oleh sistem konseptual al-Qur’an.
Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat”, sesungguhnya merupakan dampak dari sekularisme sebagaimana disebutkan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya besarnya, Islam and Secularism. Sekularisme telah menyebabkan dicabutnya kesakralan alam dan hilangnya pesona dari alam tabii (disenchantment of nature). Akibatnya alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual (lebih lanjut lihat tulisan Wendi Zarman “Fisika dan Metafisika Islam Perlu Disatukan Lagi”)
0 komentar:
Posting Komentar